Senin, 07 Oktober 2013

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT WALI NIKAH dan PERMASALAHANNYA


MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT
WALI NIKAH dan PERMASALAHANNYA







OLEH :

Hasnul Huda SiHombing



  Dosen Pembimbing :

    


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
TAHUN AJARAN 2013-2014
PADANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci, dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui Agama, kerabat, dan masyarakat.
Dengan pernikahan ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, dan dosa menjadi amal sholeh. Tetapi dengan dilaksanakan pernikahan tersebut harus ada wali dari kedua belah pihak yang menikahkannya, terlebih-lebihnya wali dari pihak mempelai perempuan. Karena tidak sah pernikahan seseorang tanpa direstui/dinikahkan oleh wali, dan salah satu syarat pernikahan harus adanya wali, tanpa ada wali maka pernikahannya itu batal dan tidak diridhoi oleh Allah Subhana wata’alaa.







B.     Rumusan Masalah
Adapun pembahasan-pembahasan yang pemakalah bahas pada hari ini yaitu :
1.      Pengertian Wali
2.      Syarat-syarat Wali
3.      Macam-macam Wali


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wali
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakili. Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.
Menurut Imam Syafi’i wali merupakan salah satu dari empat hal yang menetapkan adanya pernikahan yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan, kerelaan yang menikahi, dua saksi yang adil, serta yang kelima adalah mahar/maskawin. Sebagimana Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan adanya wali dalam keabsahan pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh dan kabiroh majnunah sedangkan bagi balighah aqilah baik gadis ataupun janda berhak untuk menikahkan diri mereka selama sepadan / kufu, karena jika tidak sepadan maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.
Dalam pelaksanaannya, seorang wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau barangkali pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus menikahkannya sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita tentang Ummu Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti ada dan tidak sah akad perkawinan seseorang yang tidak  dilakukan oleh wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih kecil, masih perawan, atau sudah janda.
Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : “Wanita manapun yang menikah tanpa seizing walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah”)
Memang tidak ada suatu ayat Al-qur’an yang secara jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Yang ada hanya ayat-ayat yang dapat dipahami menghendaki adanya seperti dalam surat Al-baqarah ayat 221.
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٢١﴾
(221) Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguh hamba sahaya perempuan yan beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beiman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebihbaik dari pada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. ( ALLAH ) menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.   ( Al-baqarah Ayat 221 )

B.     Syarat-syarat Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memilih beberapa sifat berikut :
1.      Islam.
Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.
Firman Allah Subhana wata’ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ                                                                                         إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾  

“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa diantara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”
( Al-Maidah : 51 )
2.      Baligh.
3.      Berakal.
4.      Merdeka.
5.      Laki-laki.
6.      Adil .

C.    Macam-Macam Wali
1.      Wali Nasab
Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian daerah/keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkan. Wali nasab ditinjau dari dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dapat dibagi menjadi dua, yaitu wali Akrab (lebih dekat hubungannya dengan mempelai wanita) dan Wali Ab’ad (lebih jauh hubungannya dengan mempelai wanita).
Dibawah ini susunan wali nasab menurut urutan haknya:
a.       Ayah
b.      Kakek dari pihak bapak
c.       Saudara laki-laki kandung
d.      Saudara laki-laki sebapak
e.       Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
f.       Paman ( saudara bapak ) sekandung
g.      Anak laki-laki dari paman kandung
h.      Anak lai-laki dari paman kandung
i.        Anak laki-laki dari paman sebapak
j.        Hakim
2.      Wali Mujbir
Wali yang bisa/boleh memaksa anak gadisnya dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang bersangkutan. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kebolehan wali mijbir ini dengan syarat sebagai berikut :
1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.
2. Jika mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putinya.
3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan
4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.
5. Jika putinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.

3.      Wali Adhal
Dalam hal adhalnya wali, maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya di Indonesia melalui prosedur  penetapan adhalnya wali dari Pengadilan Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan dari wali karena jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka perwaliannya tidak berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/ menghalangi.
Dalam masalah ini belum kami temukan tentang bagaimana hukum dari wali yang adhal mengenai boleh atau tidaknya,
Tetapi kami akan menyampaikan suatu dalil, mudah-mudahan bias membuka wawasan kita untuk menentukan hokum dari wali adhal tersebut.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Tapi dengan melihat dhohir dari ayat diatas kami simpulkan bahwa hukum asal dari adhal-nya wali adalah dilarang.



4.      Wali Hakim
Wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri) wali hakim itu harus hatus mempunyai pengetahuan sama dengan qadhi.
Adapun perpindahan wali nasab kepada wali hakim dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.         Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali.
2.         Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.
3.         Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram.
4.         Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya (mafqud)
5.         Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam.
6.         Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang tidak dapat dijumpai.
7.         Wali aqrab ada tetapi bepergian jauh sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qashar.
8.         Wali aqrab ada tapi menolak untuk mengawinkannya (adlal).
9.         Calon mempelai wanita menderita sakit gila, sedang wali mujbirnya 9ayah atau kakeknya) sudah tidak ada lagi.
Seluruh mazhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan perempuan gila manakala mereka tidak mempunyai wali yang terdekat, berdasar hadist di bawah ini :
Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali.
Akan tetapi bagi Imamiyah dan Syafi’i hakim tidak berhal mengawinkan anak gadist yang masih kecil, sedangkan Hanafi mengatakan bahwa hakim punya hak atas itu, tetapi aqad tersebut tidak mengikat, dan sudah si anak sudah baligh dia berhak menolaknya. Pendapat ini sesungguhnya kembali pada pendapat Syafi’i dan Imamiyah sebab dalam keadaan seperti itu sang hakim telah melakukan aqad fudhuli (tanpa izin).
Sementara itu, Maliki mengatakan bahwa apabila tidak ada wali yang dekat, maka hakim berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang yang se-kufu serta mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.
Seluruh Mazhab sepakat bahwa syarat wali adalah baligh, islam dan laki-laki. Adapun syarat bagi hakim dan bukan wali yang dekat. Sebagai pengecualian, Hanbali mensyaratkan adalah bagi setiap wali baik wali hakim maupun wali dekat.